Kisah Nyata Wanita Berzina Karena Lamaran Ditolak Ibunda, Pasti Terharu Setelah Bacanya

Wanita mana yang tidak ingin berpasangan. Wanita mana yang
tidak ingin hidupnya terlindungi. Wanita mana yang tak ingin hidupnya ada pegangan. Wanita mana yang selalu ingin sendiri. Wanita mana yang tidak ingin mengandung lalu punya anak. Sebagai wanita normal saya ingin mendapatkan semua itu! 
 
Saya hidup di pelosok Aceh Barat, kehidupan yang biasa-biasa saja sebagai seorang kampung. Pagi hari saya ke kebun karet, pulangnya ke sawah. Begitu terus rutinitas yang saya lakukan bersama kedua orang tua. Malam hari saya mengaji kitab kuning di pesantren kampung yang namanya sudah melambung sampai ke hampir seluruh Aceh. 
 
 
Kisah Nyata Wanita Berzina Karena Lamaran Ditolak Ibunda, Pasti Terharu Setelah Bacanya
 
Semua berawal ketika saya sadar bahwa umur sudah terus beranjak naik. Teman-teman sepermainan, adik-adik di bawah saya, sudah banyak yang menikah dan mempunyai anak. Saya pun ingin mengalami hal yang sama. Saya punya rahim untuk melahirkan, dan saya ingin punya suami!

Mulai Petaka
Saya menjalani hidup tak ubah sebagai bidadari kesepian. Beberapa kumbang hinggap namun tak satu pun yang mengajak saya menikah. Saya sadar kelemahan itu datang dari dalam diri saya yang tidak bisa memberikan lebih kepada para kumbang.
Ada yang cocok di hati saya ternyata tidak dengan Ibu. Cocok dengan Ibu hati saya menolak. Kepala tiga sudah saya lewati satu, artinya umur saya sudah sangat sesuai jika punya pasangan. Wajah saya pun tidak jelek-jelek amat, standar gadis kampung yang bisa menggaet pria. Paling tidak sebagian pria yang mengajak pacaran aman nyaman saja dengan saya, hanya belum ada yang mengajak menikah! 
 
Semenjak saya terlibat dalam kegiatan pertanian di kampung saya mengenal seorang pria. Lebih muda enam tahun dengan saya. Kegiatan ini melibatkan kami, sebagai orang yang ditunjuk kampung saya kerap menghabiskan waktu bersamanya. Kegiatan kami adalah mendampingi warga membuat pupuk alami dan menanam padi secara alami. 
 
Kami dekat, mungkin sebagai sahabat, baginya. Sebut saja namanya Wadi. Orangnya tinggi berotot, wajahnya babyface dan warna kulitnya lebih terang dariku. Kedekatan kami memuncak mulai Februari, waktu kami sama-sama mendapat undangan ke pulang Jawa. Mulai Jakarta sampai Jawa Tengah kami melintasi pertanian melihat bagaimana masyarkat sana bercocok tanam. Selama sebulan – bersama lima teman lain – kami mendapat pelatihan di kantor pusat Jakarta dan terjung lapangan. 
 
Aktivitas yang kami lalui pun semakin padat, kami sering bersama dan mengabaikan teman-teman lain. Rupanya, Wadi pun merasa nyaman dengan kehadiran saya dalam hidupnya. Bahkan, Wadi yang sudah beberapa kali ke Jakarta mengajak saya ke mall, nonton film dan makan bersama saat waktu senggang. Tentu saja tanpa mengajak teman-teman lain, karena kami hanya ingin berdua saja. 
 
Wadi berkata jujur, bahwa dia punya kekasih. Saya pun tak memaksa dia memutuskan kekasihnya. Wadi yang entah apa yang dia rasakan, mengatakan bahwa dia akan memutuskan kekasihnya jika saat ingin menjalin kasih bersamanya. 
 
Dalam pesawat pulang dari Jakarta ke Aceh, saya menerima tawarannya. Kami tertawa saat orang lain terlelap, kusandarkan lelah di pundaknya, dibelainya tangan saya mesra. Semua dilakukan Wadi atas dasar sayang, katanya.

Hamil Sendiri
Hubungan kami berlangsung sangat cepat. Wadi sering datang ke rumah saya. Saya pun beberapa kali diajak main ke rumahnya. Keluarga kami sudah mengenal dekat, Ibu suka dengan Wadi dan Ibu Wadi ternyata tidak senang. Kedekatan yang saya artikan bukanlah sebagai kedekatan khusus bagi Ibu Wadi. Ibu Wadi tetap menganggap saya sebagai rekan kerja dan tidak mau lebih dari itu. 
 
Wadi yang sudah gelap mata dan saya yang sudah terlena, mengabaikan restu Ibu Wadi. Apalagi saat di rumah saya, Wadi diperlukan bagai raja oleh Ibu dan saya
pun memperlakukannya sebagai orang yang sangat istimewa. Di malam yang tak pernah terlintas akan ada pria lain di rumah saya, selain Ayah. Wadi pun menginap. Sekali dua kali bahwa berkali-kali. Sebagai pemuda wajar saja Wadi tidak pulang ke rumahnya karena orang tua sudah lepas tanggung jawab terhadapnya. 
 
Kejadian itu terjadilah. Saya dan Wadi melakukan yang tidak seharusnya kami lakukan. Waktu berjalan tanpa berdampak apapun. Sampai di Juni saya merasa keraguan mendalam. Sudah tiga bulan saya merasa janggal dengan siklus bulanan wanita. Saya tak pernah merasa ada darah yang berkucuran dari bawah sana. 
 
Saya ke puskesmas di temani Ibu, positiflah saya mengandung tiga bulan. Wajah saya pias dan Ibu mendadak hampir pingsan. Ke depan saya akan menerima petaka yang selama ingin selalu ingin dihindari wanita. Hamil diluar nikah! Bukan pilihan tepat! 
 
Sebelum saya sampaikan pada Wadi, berbagai cara saya lakukan sesuai anjuran Ibu guna melunturkan kandungan. Berobat obat-obatan kampung. Hasilnya, tidak berdampak apa-apa. Apalah luntur setetes darah pun, mual saja tidak saya rasakan. 
 
Dua minggu sebelum bulan puasa saya menikah dengan Wadi. Nikah yang tidak diketahui oleh semua orang. Dibantu paman saya yang bekerja di KUA saya menikah dengan Wadi. Raut wajah Wadi tidak seperti biasanya. Dia terlihat tertekan. Kami menikah bukan di KUA kecamatan saya dan Wadi berdomisili, paman saya merekomendasikan ke kecamatan lain. Kami menikah di bawah tangan. Rasanya tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Saya lihat Wadi melafalkan akad nikah dengan terpaksa.

Ditinggal Pergi
Hari-hari setelah itu kami tak pernah tegur sapa. Wadi pun punya alasan sendiri tidak menjumpai saya. Entah siapa yang mengabarkan berita itu, pernikahan kami menyeruak sampai ke seluruh kecamatan. Wadi yang sebelumnya sebagai penanggungjawab fasilitator pertanian di kecamatan, menerima keputusan pahit. Wadi dipecat dan mendadak menghilang. Keputusan ini bukan dari kecamatan langsung, namun dari pihak lembaga yang berpusat di Jakarta. 
 
Menghilangnya Wadi berimbas pada saya yang semakin hari semakin membuncit. Dua hari sebelum puasa, orang tua kampung Wadi datang ke rumah kepala desa saya. Meminta pertanggungjawaban karena sudah mengambil Wadi tanpa diketahui oleh warga sana. Apalagi orang tua Wadi tidak tahu-menahu pernikahan kami. 
 
Kurasa dunia mendadak semakin gemerlap dengan cemoohan. Kepala desa kami memang tidak tahu bahwa kami akan menikah. Kepala desa lepas tangan dan tidak mau terlibat dalam perkara ini. Tinggallah saya dan keluarga yang dirong-rong keluarga Wadi. Ibu Wadi yang semula sudah berkhutbah bahwa Wadi tidak berbuat apapun dengan saya, datang ke rumah, mengatakan bahwa Wadi tidak akan diberikan kepada saya! 
 
Wadi benar-benar pergi. Entah atas desakan Ibunya entah karena keinginannya sendiri. Berulang kali saya hubungan ke nomor ponsel Wadi selalu mailbox. Saya tidak mengerti apa yang terjadi. Tidak ada penjelasan Wadi akan masalah besar dan perut saya yang semakin membesar. Mencari ke kampung Wadi bukan keputusan tepat, kabar yang kutahu dari teman-teman lain Wadi pun tak pernah melintas lagi di kampungnya. 
 
Wadi sudah menghilang. Sebulan puasa, seminggu Idu Fitri. Wadi tak pernah menampakkan kehidupannya dalam kehidupanku. Orang-orang terus berkata;
“Sudah ngaji di pesantren masih berbuat zina!”
“Alumni pesantren dan santri kesayangan ustad hamil diluar nikah!”
“Panutan kampung kok jadi hama di kampung!”
Dan lain-lain. 
 
Kuterima dalam sendiri, tanpa Wadi. Bukan hanya Wadi yang menerima perlakuan tidak enak, saya sebagai wanita lebih parah dari itu. Wadi tidak berbentuk fisik atas nafsu yang sudah kita perbuat, saya membuah hasil yang akan dibuahi setelah sembilan bulan. 
 
Wadi bisa lari ke mana saja tanpa dianggap cacat, saya yang menerima cacat setelah melahirkan dan punya anak. Wadi bebas bisa menikah dengan wanita lain. Saya? Menikah dengan siapa lagi? Wadi tidak sadar, bahwa kita melakukan perbuatan dosa itu lantaran kita sama-sama ingin melakukannya. Bukan karena saya paksa, bukan karena saya mau. Wadi nginap di rumah saya pun karena Wadi ingin, jika tak mau dengan hubungan kami kenapa Wadi tidak menolak semua permintaan saya? 
 
Hidup tanpa suami – ditinggal suami – setelah hamil rasanya tidak bisa dikatakan dengan kata-kata. Saya ingin bahagia bukan menderita sendiri. Saya ingin punya suami dan anak. Saya ingin anak saya punya ayah. 
 
Wadi, dia menjadi pengecut! Saya baru sadar dia lebih lemah dari fisiknya. Begitu indahnya bagi pria, setelah menabur benih bisa bebas melayap keliling dunia!
***
Seperti yang diceritakan wanita itu kepada penulis.